Aku telusuri lorong kota mati, kemegahan menyoroti didepan mata-ku, menutupi derita.
Aku terus melangkah sepanjang jalan kota mati, uang darah mengalir ke kantong-kontang atas nama derita Mama-ku.
Sepanjang jalan seperti terdapat dalam ayat suci itu jalan maut
Aku bertanya dimanakah uang darah ?
Mama-ku menangis akibat derita, darahnya tercemar, dagingnya dicambuk dan anak-anaknya menderita.
Semua membisu, euforia meracuni nalar sehat untuk bertanya tentang derita Mama-ku
Aku bertanya siapakah aku mengadu tentang nasib Mama-ku.
Kaum-ku bertengakar tentang derita Mama-ku secara abstraktif. Mengklaim diri sudah mendidik kaum-kaum
Berjalan bersama perampok atas nama derita sesama anak bangsa, membawa ciri diri sendiri atas nama bangsa
Nalar sehata-ku menegurku jangan dengar, ada seni kebohongan atas nama derita Mama-ku
Siapkah Mama-ku mengadu?
Derita, Mama-ku mendatangkan kehidupan baru.
Kota mati, memang benar terjadi
Aktivitas dialetika atas derita, tangisan, ratapan menjadi sunyi. 
Institusi ilmu pengetahuan bermegah dimana-dimana.Tak satupun bertanya tentang keadaan kota mati, akal sehat mati dirancuni racun pragamatisme.
Kesepian mengantar-ku bertanya, kapan derita Mama-ku berakhir.
Apakah berdoa pada  sang kalik
Atau tunggu waktunya ditelan bersama bencana pemusnahan.

Maximus Sedik 
Depan Pelabuhan Rakyat tanah Maladum Juni 2022